Selasa, 19 Agustus 2008

MENGUJI EKSISTENSI KPID KALTENG

MENGUJI EKSISTENSI KPID KALTENG
Oleh :
Sigit Wido (wakil ketua KPID Kalteng)

“ SEMUA TELEVISI SWASTA NASIONAL WAJIB MEMBANGUN STUDIO LOKAL DI KALTENG SEBELUM TAHUN 2009 “

UU No 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran secara normatif telah mengamanatkan bahwa mau tidak mau, sistem penyiaran dan isi siaran di lembaga penyiaran harus diatur, karena tujuan dari keberadaan lembaga penyiaran yakni untuk memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri serta mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai. Hal tersebut tentunya dapat terwujud jika lembaga penyiaran dapat memainkan perannya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta menjadi kontrol dan perekat sosial.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah lembaga penyiaran , baik radio maupun televisi di republik ini memainkan perannya sesuai UndangUndang? Tentu pertanyaan ini, merupakan kelanjutan dari sebuah pertanyaan , bagaimana kondisi tayangan televisi yang hadir di tengah tengah keluarga kita saat ini? Lalu, adakah muncul rasa gamang, ketika stasiun televisi menyuguhkan berbagai mata acara yang ditonton oleh anak anak dan keluarga kita yang pada hakekatnya tidak mencerminkan semangat penyiaran itu sendiri? atau justru kita malah suka dan menikmatinya sebagai sebuah hiburan ketika perilaku yang ditayangkan televisi tersebut ditiru oleh anak anak kita terus kita membiarkannya dan menganggap itu merupakan bagian dari proses perkembangan zaman. Sadar atau setengah sadar, saat ini kita telah dicekoki dengan berbagai tayangan yang sentralistik dari Jakarta.

Masyarakat di daerah seolah tidak diberikan peluang untuk turut serta menentukan tayangan yang layak bagi mereka.implikasi dari informasi yang tunggal nada tersebut sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terutama anak anak di daerah. Misalnya, informasi tentang sungai meluap di Jakarta, tidaklah terlalu penting bagi pemirsa TV yang berada di Kalimantan Tengah terutama yang tinggal di daerah aliran sungai, sebab menurut mereka sungai meluap adalah hal yang biasa dihadapai jika sedang musim penghujan.

Kenyamanan siaran tidak kita dapatkan di daerah bahkan yang didapat itu terasa asing bagi kita. Apa yang terjadi pada sistem penyiaran di Indonesia saat ini merupakan sebuah keinginan pemerintah yang masih tetap menganggap dan memperlakukan masyarakat di daerah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan bisa di bawa kemana mana oleh tuannya. Bahkan rakyat tidak memiliki hak dan kuasa dalam menentukan siaran di lembaga penyiaran.

Konsep seperti ini terus dusuguhkan dan mencekoki pemikiran masyarakat, sehingga kita lupa jika telah terjadi pembodohan yang terstruktur dilakukan pemerintah. Saat ini masyarakat tidak memiliki nilai tawar dalam menetukan isi siaran sehingga harus menerima apa yang disuguhkan Jakarta. Ada tujuh peraturan pemerintah yang telah ditandatangani presiden terkait penyiaran. Tiga PP yang awal keluar adalah PP Nomor 11, 12 dan 13 yakni Tentang lembaga penyiaran publik, RRI, TVRI dan penyelenggaranya sendiri. Belum selesai polemik tentang keluarnya tiga PP tersebut, pada November 2005 lalu, pemerintah kembali mengeluarkan empat PP lagi tentang penyiaran yakni, PP Nomor 49, 50, 51 dan 52 yang mengatur tentang lembaga penyiaran asing, swasta , komunitas dan berlangganan. Bahkan yang lebih parah lagi, tepatnya akhir Tahun 2007 lalu pemerintah kembali membuat langkah kontroversi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri nomor 32 tentang penyesuaian penerapan sistem siaran berjaringan lembaga penyiaran jasa penyiaran televisi.

Terlepas dari polemik yang sedang berkembang tersebut , komisi penyiaran Indonesia daerah Kalimantan Tengah memiliki tanggung jawab untuk menata sistem penyiaran yang sehat. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya diantaranya membuat pemetaan ( mapping ) lembaga penyiaran. Sebab pada hakekatnya, lembaga penyiaran tidak hanya menyangkut regulasi kanal, tetapi lebih jauh dari itu, terkait juga dengan isi siaran, manajemen perusahaan, dan sumber daya pengelolanya. Apalagi kanal frekuensi merupakan ranah publik yang sangat terbatas.

Dengan kondisi tersebut, diperlukan sebuah penataan sehingga ruang yang terbatas itu bisa benar benar dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sebagai pemilik regulasi. Mumpung belum terlalu banyak, maka lembaga penyiaran yang ada di Kalimantan Tengah perlu diatur secara professional dan proporsional sehingga masyarakat sebagai pemilik frekuensi tidak dirugikan oleh pengusaha yang bergerak di lembaga penyiaran sebagai pengguna frekuensi.

Timbul pertanyaan, masyarakat yang mana? Disinilah kita tegaskan bahwa yang harus dibela adalah masyarakat yang selama ini dirampas hak haknya, dikebiri, bahkan dinaifkan oleh pemerintah dan tidak diberi ruang untuk menyanggah. Masyarakat yang selalu dininabobokan dengan senandung retorika dan terbuai dalam ketidaktahuan bahwa kita sedang dipaksa untuk memahami aturan atuaran yang dibuat itu.

Merujuk pada pasal 60 ayat (2) dan (3) UU 32 Tahun 2002 Tentang penyiaran, 28 Desember 2007 lalu adalah hari bersejarah bagi lembaga penyiaran yang siaran di daerah daerah seluruh Indonesia, sebab pada tanggal tersebut seluruh lembaga penyiaran ( baca : televisi ) harus sudah menjadi stasiun berjaringan,. Artinya, seluruh televisi yang ada sekarang harus sudah membuat stasiun lokal di seluruh daerah di Indonesia termasuk di Kalimantan Tengah. Namun sayang, mimpi implementasi desentralisasi penyiaran tersebut harus kandas setelah pemerintah mengeluarkan Permen Nomor 32 Tahun 2007 tentang penyesuaian penerapan sistem siaran berjaringan lembaga penyiaran jasa penyiaran televisi. Dengan keputusan ini akhirnya pelaksanaan siaran sistem berjaringan tersebut harus ditunda sampai akhir Tahun 2009 mendatang. Satu hal yang patut disayangkan ketika saat ini rakyat menginginkan keadilan dalam memperoleh infomasi. Sebenarnya, dengan system siaran berjaringan ini, memberi ruang kepada daerah untuk mengatur dirinya dalam hal isi siaran, yakni memiliki hak untuk menentukan mata acara yang sesuai dengan potensi daerah masing masing. Kita di daerah tidak lagi disuguhkan dan dipaksa oleh stasiun televisi swasta di Jakarta untuk menonton bentuk kebudayaan dan gaya hidup yang dipaksakan kepada daerah lain. Ini bisa dilakukan jika daerah bersatu menolak hegemoni siaran dari Jakarta tersebut.

Fakta aturan ini juga memberi angin segar bagi daerah, khususnya terkait dengan persoalan isi siaran televise yang selama ini menjadi bahan kritik masyarakat di daerah karena dinilai banyak tayangan yang kurang mendidik. Penerapan sistem berjaringan merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda tunda lagi, jika pemerintah beralasan penundaan ini murni karena masalah teknis terutama menyangkut kepemilikan (diversity of ownership) maka untuk masalah isi siaran (diversity of content) harus bisa dimulai dari sekarang untuk diterapkan. Ini merupakan sebuah komitmen yang tumbuh dari sebuah kesadaran hukum bagi anggota KPID seluruh Indonesia. Paling tidak, jika aturan ini bisa dilaksanakan maka untuk tampil dan dapat disiarkan di seluruh Indonesia tidak perlu harus ke Jakarta, atau kalau ada masyarakat Kalimantan Tengah yang ingin menjadi artis dan sebagainya, tidak juga mesti harus hijrah ke Jakarta.

Namun, segala atuaran yang ada tersebut tidak akan terwujud jika masyarakat di daerah tetap masa bodoh dengan peraturan yang ada. KPID Kalteng , bukanlah instansi yang berdiri sendiri dalam menata sistem penyiaran di daerah, kekuasaan ada pada masyarakat sebagai pemilik regulasi. Dalam konteks ini maka pengusaha daerah juga memiliki hak untuk menanamkan investasi di daerahnya dan anak-anak di daerah juga memiliki hak untuk bekerja di stasiun televisi yang siarannya diterima daerahnya. Semoga sistem stasiun berjaringan dapat secepatnya terwujud di Bumi Tambun Bungai.

Posted By : h_peace

0 komentar: